Mentari belum sepenuhnya memancarkan sinarnya, Namun kicau burung sudah saling bersautan menemani ibu-ibu mempersiapkan sarapan pagi untuk anak dan suami mereka. Jalanan yang masih pekat dengan embun samar-samar mulai pudar seiring hentakan sepatu pegawai dan anak sekolah, para mahasiswa dengan roda duanya.
Tak akan ada yang menyangka bagaimana dulunya kota kecil nan jauh dari hiruk pikuk ibu kota ini mampu lebih maju dan higienis dan seluruh kota di dunia. Bagaimana tidak, hampir tidak ada polusi dudara ataupun limbah di kawasan ini, pun dengan pengangguran. Setiap tenaga insan tercurah untuk setiap industri yang dikerjakan, semua menggunakan tenaga insan dan bahan-bahan dari alam yang tidak memiliki dampak berbahaya untuk masa depan. Tak ada deru mesin jalanan yang menyaingi bunyi guru sedang memberi penjelasan kepada siswanya, hanya andong yang sesekali lewat, tidak untuk mengambil sampah dari depan rumah warga, tetapi petugas kecantikan taman, yang merapikan atau mengganti tanaman atau bunga yang mulai bau tanah di sepanjang jalanan kota.
Pemerintah kota tidak menutup diri terhadap perkembangan teknologi dan insutri mekanik, bahkan banyak dari tim hebat di perusahaan-perusahaan besar di di negara lain menginjak tanah pertama kali di kota ini, akan tetapi kesadaran warga yang sudah dipupuk dengan sistem kepemimpinan yang sudah berjalan secara turun temurun.
Ya, kemajuan kota dari sisi ekonomi, teknologi, manusia, maupun alam yang selalu dijaga ini tidak lepas dari sosok Karna. Sosok pria sederhana dari keluarga yang tak seorangpun menduga akan menjadi penggagas sistem pemerintahan terbaik di dunia. Bagi penduduk kota ini, Karna yaitu insan terbaik yang tumbuh dari keluarga terbaik yang dikirim Yang Mahakuasa untuk memberi tanda kuasa Yang Mahakuasa tidak diberikan berdasarkan keturunan saja. Kerja keras, ketaatan, doa, dan perjuangan orang tuanya.
Bagi Karna ketaatan yaitu pegangan utama untuk menjadi insan sesungguhnya. dan itu dibuktikan dengan tabah dan taatnya beliau mengikuti perintah eyang guru. Delapana tahun tidak sedikitpun mendapat pelajaran kanuragan dari sang eyang. Ilmu yang didapat hanyalah mengambil air di belakang padepokan Wilujeng Raharja untuk mandi para murid dan mengurus tanaman di sekitar padepokan.
Langkahnya untuk memajukan kota menjadi sentra mencar ilmu dan perekonomian negara tidak serta merta jadi. Halangan yang begitu besar datang silih berganti.Setelah Eyang guru meninggal, wasiat terahirnya yaitu Karna sebagai pewaris padepokan yang setiap titahnya wajib ditaati setiap penghuni kota. Pimpinan padepokan yaitu pemimpin kota. Empat puluh hari berlalu, padepokan dan sekitarnya terlihat ibarat kota mati, hingga segerombolan orang datang dengan pakaian dan kendaraan serba mewah yang dipimpin seorang wanita mengaku sebagai anak eyang guru dan menagih warisan dari ayahnya.
Memang berdasarkan cerita, eyang guru memiliki sepasang putra putri, namun setelah remaja dengan ilmu kanuragan yang cukup muncul rasa jumawa dan meninggalkan padepokan, alasannya yaitu baginya sudah tidak ada lagi tantangan di kota kecil dengan amis sulfur dimana-mana.
Seluruh warga resah dengan kondisi ini, "Bagaimana mungkin seorang perempuan akan memimpin kota yang pernah ditinggalkannya, sementara beliau pergi saja alasannya yaitu jijik dengan kota ini, bisa-bisa nanti kota ini dijual dan kita akan mencicipi yang namanya menderita". ujar Munir yang memang didakwa sebagai lurah.
Munirpun berinisiatif mengumpulkan seluruh pimpinan desa dan pemuka agama untuk mencari solusi dari benih pertikaian yang mulai tumbuh, dari hasil musyawarah, Karna yaitu pewaris sah padepokan Wilujeng raharja dan berhak memimpin kota sementara keturunan laki-laki dari eyang guru tidak tahu kemana. Namun gres saja keputusan itu dibacakan, datang seorang pria setengah baya dengan wajah ibarat eyang guru. semua terperanjat, takut, kaget, bahkan ada yang menyangkan eyang guru terlahir kembali dengan sosok yang lebih muda.
"Aku Ludira, pewaris utama eyang guru. saya kesini tidak untuk mewaris kepemimpinan atas padepokan dan kota ini, saya hanya ingin mengambil pusaka pedang catur jiwo milik bapakku".
Tak seorangpun berani berbicara kecuali pria setengah meter dengan rambut yang lebih panjang dari ukuran tubuhnya, Munir. "Mari ku antar ke padepokan, mungkin Karna mampu mebberi penjelasan" ujarnya.
Ludira pun bergegas menuju padepokan dengan kuda hitamnya yang gagah.
Tanpa basa kedaluwarsa langkahnya tertuju ke saung utama dimana eyang biasa merebahkan tubuh dan menemui para tamunya yang Ludurapun gotong royong belum pernah memasuki ruangan itu. Ia terheran dengan pemandangan yang dilihatnya, tak ada aroma mistis ataupun senajata pusaka, hanya buku-buku tebal tertata rapi dari ujung pintu satu ke ujung pintu lainnya. "Kang Ludira, ada yang mampu saya bantu?" sapa Karna.
"Kau pasti karna. Tenang, saya kesini tidak untuk merampas kepemimpinan yang diberikan bapak kepadamu atas padepokan dan kota ini, saya hanya ingin pusaka bapakku, kau tentu tau yang saya maksud." sergah Ludira.
Karna mulai resah bagaimana menawarkan tanggapan yang sempurna biar tidak tersinggung dan marah. Sementara ia tahu dari eyang guru pusaka pedang carur jiwo hanya sebuah istilah, bukan sebuah benda.
"Aku mengerti kakang, benda itu disimpan eyang di dalam ujung goa bawah jeram belakang padepokan. untuk memasukinya kau harus bertapa empat puluh hari empat puluh malam, dan kau hanya boleh makan dikala matahari itu tak terlihat. Tentu kau mengerti maksudku". Jelasnya.
"Oh, ternyata begini caramu Dira. kau masih saja ndeso dan tidak mampu bermain rupawan untuk menerima yang kau inginkan, kau tetaplah pria ndeso Ludira. Dan kau Karna, kau tidak sopan menawarkan diam-diam bapak kepada anak bau kencur ini tanpa membertahuku dulu sebagai keturuanan pertama bapak." potong Minawati yang sedari tadi mengintip dari luar.
Hampir saja pertikaian besar terjadi, alasannya yaitu Ludira menjawab hinaan kakaknya dengan kilatan pedang yang siap menebas leher kakaknya itu. pertikaianpun terjadi. Saling berkelahi kanuragan tak mampu terelakkan. Ditengah perkelahian satu darah itu Krna berujar, "Teruslah berkelahi dan saling bunuh, alasannya yaitu 40 hari ke depan saya yang akan menerima pusaka itu tanpa halangan berarti." dan merekapun menghentikan perkelahian yang sedang seru-serunya dan beralih beradu cepat menuju bawah jeram yang sedang deras-derasnya, dan mereka mulai membuat kawasan pertapaan.
Baru tujuh hari merasa damai dari gangguan bawah umur eyang guru, isu sedih datang dari kampung halaman Karna, kedua orang tuanya ditemukan meninggal bersimbah darah dirumahnya. emosinya memuncak, tiraninya berkuasa, ingin rasanya ia membunuh pemilik gelang emas yang ditemukan dalam genggaman ibunya, dan semua orangpun tahu siapa pemilik suplemen itu.
pikirannya berkecamuk, antara air mata dan dosa, antara dendam dan balas jasa. hampir setiap jam ia memantau perkembangan dua gubuk kecil di samping air terjun, dan memang minawati memiliki taktik yang cerdik, bahkan licik dibanding adiknya, Ludira. Ia memilih kawasan teraman dan terdekat disamping ekspresi goa, sementara Ludira sempurna dibawah aliran terjun, yang kalau terjadi banjir bandang, ia akan tenggelam bersama gubuknya.
Tepat seminggu sebelum empat puluh hari sepeninggal orang tuanya, karna dikagetkan dengan ramai sorak sorai warga dari arah air terjun. Ia pun bergegas kesana, dan puluhan warga sudah berkerumun menonton pertunjukan yang tidak wajar. Sepertinya Karna datang terlambat, sesampainya di jeram kedua anak eyang guru itu telah terkapar dengan pedang tertusuk di ulu hati masing-masing.
Warga yang tadinya tak berani mendekat, alasannya yaitu kedatangan Karna segera menolong mayit keduanya, namun belum hingga mayit dipegang, terdengar gemuruh yang begitu dahsyat yang diketahui warga sebagaia tanda datangnya banjir bandang kiriman dari kota sebelah. Wargapun berhamburan meningalkan lokasi. Benar saja, air bah menggerus gubuk dan dua tubuh tanpa nyawa tanpa tahu dimana bermuara.