Gerimis Tahun Baru Cina



Apa yang terjadi malam itu menyerupai tumpukan sampah. kotor, bau, berantakan. setiap hisapan nafas yang ada hanya sesak, pusing, ingin muntah. Pun begitu dengan apa yang berkecamuk dalam dadaku, dalam kepalaku.

Dua pasang bola mata yang selalu meneduhkan, bibir tipis yang menggumamkan rindu itu kembali datang mengusik. Ya, kedipan-kedipan teduh itu tak terlihat lagi, hanya rintikan air yang tak lagi bisa terbendung. Bibir tipis yang selalu mengungkapkan kemanjaan, lenguhan, bahkan ketusan itu tak lagi tersungging.

Aku duduk di bangku sofa ruang ini. Hampa, berantakan, dengan meja-mejanya yang tak lagi terkemoci, lantai putih yang tak lagi terpel dengan aroma terapi yang biasanya kau sempatkan waktu untuk membasuhnya sebelum tapak-tapak bising berdasi menggenggam kayu bertulis 1 hingga 100. Di meja baris ke dua itu saya biasa menumpuk buku-buku dan pena merah. Dan setiap jam 20.30 saya mengencaninya untuk sekedar menunjukkan kenang-kenangan bertulis jayyid, jayyid jiddan atau bahkan mumtaz. sebuah tanda yang nanti akan mejadi nostalgia dua atau tiga tahun yang akan datang menyerupai yang kau cubitkan di pinggangku malam ini. Sebuah cubitan atas godaku dengan nilaimu yang tak menyentuh angka maksimal, meski hanya tertuang dalam satu atau dua kata berbahasa arab saja.

Aku tak begitu mengenalmu sebelumnya, apa lagi memperhatikan terlalu jauh, sebab yang ku tahu kau yakni bayangan dari kerudung merah yang selalu tersenyum untuk setiap tamu yang datang. Kau yakni telik sandi ketika baju biru tertangkap segerombolan pasukan istana. Aku tidak gugup apalagi takut. Bahkan saya menikmati setiap kekhawatiran akhir dari tindakanku malam itu, dan saya lupa bahwa kau hanya sebuah bayangan si hidung tungku. 

Kau laksana operator seluler yang selalu mengingatkan isi perutku sudah mulai kosong. Kau yakni sapu tangan ketika jari-jariku mengiramakan piano kesedihan, dan kau menyeka rintikannya. Aku tidak risih meski ratusan pasang mata mengintip dari sela-sela cendela beling yang seakan menutupi. Tapi itu bohong, macam bohongku atas rasamu yang tertutup kerudung merah.

Ku rebahkan tubuhku di sofa panjang dimana kau memelukku dekat di keremangan malam, ketika hanya satu atau dua pasang kaki yang sesekali melintasi. Malu rasanya kalau hingga belum dewasa gres yang tiba-tiba memenuhi ruangan ini melihat kesembaban mataku. 

Ku pejamkan mataku dan mulai ku dengarkan lagi kesukaanmu, dan saya tertidur. Samar-samar saya mendengar dering telepon; kau jatuh di depan rumah seorang kawan lama. banyak darah kau terpejam, dan sesekali kau lontar senyum dalam boponganku. Pekat sekali mata ini, sepertinya kopi mak Konah tadi pagi tidak begitu berimbas pada begadangku semalam. Ku hubungi orang tuamu, ku pastikan semua baik dan saya terbangun. Aku bermimpi, mimpi pada masa lalu yang kembali muncul dalam desktop otakku. 

Kita sudah sangat sering bertemu, saling curi pandang, saling ejek, dan kita kenal, hingga semua sesak di dadamu tak lagi bisa kau tahan. Dalam derai bahagia kau curahkan rasa, saya tak peka. Diruang kecil samping toilet itu saya lupa telah berani memelukmu, menciummu, mengusap setiap peluh yang membasahi serakan buku laporan yang gres saja kau rapikan. Aku menangis, tapi itu bahagia. 

Satu setengah tahun nuansa bening berhias pelangi itu ku sadak. Sampai beruang berbulu ungu itu kau bakar dan kau tulis surat terakhir dalam gerimis tahun gres cina dua tahun silam, dan kau tetap ada. Ada dalam setiap kuncup padi yang menanti mentari dalam petak sawah hatiku.
Labels: , , ,

Post a Comment

[blogger]

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.