Pagi ini hati saya serasa ada angin kencang petir, gempa, dan sunami yang datang silih berganti. Ada emosi yang tertahan dan memang saya paksa untuk saya tahan. Bagaimana tidak, sebuah pemikiran yang sudah hampir menjadi keyakinan saya selama ini terkoyak habis melaui sebuah perbincangan singkat yang berawal dari sebuah status di akun facebook seorang teman.
Sekilas memang tidak ada yang istimewa dari statusnya. Yang hanya meminta pendapat perihal kondisi ketika dimana seorang guru diwajibkan mengajar 8 jam selama 5 hari. Awalnya saya menanggapi kalem dengan mengingatkan bagaimana dulu ia diajar oleh seorang guru yang datang pagi pulang menjelang sore dan tidak ada problem berarti atau menjadi halangan bagi siswa untuk bernakal ria.
Pertikaian dalama hati saya mulai sengit ketika ada beberapa sahabat yang berprofesi sebagai guru yang menolak sistem tersebut dengan aneka macam alasan. Dan alasan ini bukanlah alasan klasik menurut saya ini yakni alasan baru. Karena ketika masih menjadi siswa ataupun awal mengajar saya tidak pernah mendengar keluh kesah semacam ini. Dimana ekonomi atau keuangan menjadi alasan dasar untuk menolak wacana tersebut.
Disini saya akan mengawali bagaimana dulu teman-teman seangkatan ataupun kakak dan adik kelas ditempa dengan pendidikan yang begitu keras. 10 pelajaran dalam sehari semalam yang ditutut dengan materi hafalan dan peraturan yang ketat dan terkesan keras. Semua mampu terlewati dengan tepat dengan wisuda di selesai masa pendidikan.
Yang jadi problem bukan bagaimana sistem itu diterap untuk dilanggar, tapi bagaimana sistem itu diterapkan untuk terus diawasi dan dikembangkan.
Selama 12 tahun saya menempuh pendidikan bukan berarti tidak ada problem sama sekali. Bagaimana rasa sakit dipukul sebab tidak mampu menjawab pertanyaan guru, telat masuk sekolah, ataupun telat bangkit pagi, seakan sudah menjadi jaminan setiap hari. Dan pada kenyataannya dongeng lucu yang akan terkesan sadis kalau diterapkan pada anak sekarang, dulu hanya menjadi ajang catur antar pengurus, guru dengan siswa yang "nakal.
Rasa sakit sebab pukulan, hanya menjadi materi guyonan sesama teman, tidak menjadi sebuah dendam atau hingga menjalar hingga ke pihak yang berwenang yang dalam hal ini yakni kepolisian. Kenapa terjadi pergeseran proses pendidikan dari dulu yang sudah sakral, disiplin dan tertata baik, menjadi cengeng, manja dan kekanak-kanakan? Jawannya yakni sebab gurunya. Karena gurunya hanya memikirkan dirinya sendiri, gurunya hanya memikirkan bagaimana hari ini saya mengajar dan nanti pulang mampu bertemu keluarga kemudian bulan depan gajian. Bukan memikirkan bagaimana anak didik saya yang A ini kesulitan mengira pelajaran dan yang B begitu mudah menerimannya sementara mereka dalam satu jenjang, dan apa faktor yang melatar belakanginya. Termasuk memikirkan apakah pelajaran yang saya berikan sudah mampu diterima murid dengan baik, dipelajari dirumah dan besok ketika saatnya bawah umur siap menjawab pertanyaan saya.
Tentu tidak sebatas bagaimana tuntutan dan hukuman itu diberikan, tapi lebih kepada bagaimana sebuah yayasan, sekolah, atau instansi pendidikan lain tidak hanya mengajar muridnya saja dengan pelajaran dari buku, tapi guru harus ditempa dengan pengetahuan yang unggul untuk tidak hanya mengajar mengajarkan ilmu lahir saja, tapi juga ilmu batin yang dalam hal ini yakni akhlak.
Akhlah yakni sebagai kontrol hati untuk tidak berfikir dan bertindak melebihi kapasitas yang ditentukan Tuhan, sementara ketentuan Allah tidak pernah bersilang dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Dari etika yang dipupukkan, ditempakan, dan dijadikan mendarah mendaging ke dalam lubuk sanubari guru dan siswa, serta ditunjang dengan sistem mengajar yang baik, pendidikan akan berjalan dengan baik pula dan menghasilkan kader-kader bangsa yang brilian dan mampu diandalkan.
Nah, ketika semua pikiran dan tenaga sudah dicurahkan untuk pendidikan dengan ikhlas, hukuman yang diberikan, akan diterima dengan legowo oleh siswa, pesan tersirat yang diberikan akan sangat mudah diterima dan diamalkan oleh siswa. Dan ketika itulah, gaji, pinjaman kesehatan, pinjaman hari tua, dan tunjangan-tunjangan yang lain layak untuk diterima tanpa harus menuntut.
Lalu apakah sistem yang diterapkan pemerintah salah? Tentu saja tidak. Karena sistem pendidikan dibuat dengan pemikiran yang dalam dan matang serta melalui perdebatan yang alot. Dan apakah salah guru yang merasa keberatan dengan beban dan tuntutan yang ada? Ya, salah. Karena pendidikan bukanlah pekerjaan, pendidikan bukanlah urusan ekonomi yang mampu dihitung sehari dapat berapa dan dikalikan 1 bulan dapat berapa, tapi pendidikan yakni mempersiapkan generasi penerus yang akan membawa kemana bangsa ini nantinya. Yang akan menyelamatkan kita dimasa mendatang kalau pendidikan yang diberikan oleh guru itu benar, dan akan menyulitkan dan menghancurkan kita di masa mendatang kalau pendidikan yang kita berikan salah.
Inna fii aydiikum amrol ummati wa fi iqdaamikum hayaatahaa.
Wallhu a`lam bissawab.
Post a Comment