Senja Itu Telah Memudar


Senja itu telah memudar, dan dunia kunang-kunang perlahan menampakkan eksistensinya. Desiran angin gunung semakin memanjakan setiap hembusan penghuni lembah cinta. Aroma khas welirang menyerupai obat nyamuk yang memeluk kulit-kulit yang semakin menggigil, tak terkecuali Blind yang semakin dekat dengan kawasan tidur barunya. Beralaskan klaras dan berselimut pandan wangi mengantarkannya semakin pekat dalam mimpi. Gesekan-gesekan bulu jangkrikpun serasa violist sedang asyik memainkan nada pengantar tidur, nikmat sekali rasanya. Oh tidak, tidak senikmat itu rupanya. Sedikit demi sedikit langit mulai mengencingi ibu jari kakinya yang terlewat dari daun pisang kering yang menyelimuti tubuhnya. basah, dan semakin menjalar hingga membasahi pantatnya. Sepertinya langit malam sedang kesepian, ia tahu ada seonggok daging bernafas sedang memamerkan kenyamanan di tengah kerja kerasnya memikul jutaan manik-manik malam.


“Oh, jahat sekali kau malam, tak tahukah sepanjang langkahku habis untuk menjaga kenyamanan tuanku menghamburkan uang untuk lampu hias, taman bunga, monumen-monumen nirmakna, atau sekedar mengecat ulang patung pria yang dianggapnya ayah, dan tahukan kau, itu palsu. Biarkanlah saya sejenak bernafas normal.” Kesalnya sambil ia nayalakan sebatang rokok dan bersandar dalam apitan akar kepoh sambil menikmati sisa-sisa mimpinya.
Sepertinya langit sedang anyang-anyangan, tak hentinya ia mengencingi beberapa bab badan Blind yang semakin tersudut tanpa bisa menghindar alirannya. Dan di tengah-tengah himpitan air, bunyi jangkrik, dan tabrakan daun ploso yang tersapu angin terdengar sayup-sayup teriakan perempuan dari gubuk seberang. Secepat kilat ia singkirkan daun-daun yang menali simpul tubuhnya, ia lempar rokok di jari yang gres terpakai beberapa hisapan, dan berlari tunggang langgang menghampiri sumber bunyi tadi.


“Bangsat kau Haikal! kau memang kotor, tak seharusnya kau menodai air lembah cinta ini dengan busuk busukmu itu, menjijikkan!” bentaknya sambil menendang pantat Haikal sekuat tenaga tanpa memberi kesempat untuk menghindar, dan Haikalpun terjengkal dan jatuh dari atas gubuk bersimbah lumpur. Hampir saja Blind turun dan menenggelamkan badan cungkring itu ke dasar bumi bila Meylinda tak melarangnya.


“Sudahlah Blind, tak perlu kau benamkan ia ke dalam lumpur itu, ia sudah terlalu jauh terbenam dalam imaji atas nikmati kulitku, dan saya masih baik-baik saja selain bercak liur yang dulu sempat ku bayang madu.” Sengguknya seraya menenangkan Blind yang masih menggetar kepal dengan sejuta amarah.
Keheningan dalam gubuk terasa makin menyuntuk kala tak sepatah kata terletup dari verbal Blind, dan Maylinda masih sesenggukan dalam getar sembari membenahi rambut yang sempat berserakan.


“Kau masih menyerupai biasanya saja, tak adakah sedikit welasmu untuk wanita yang tersungkur dalam temaram ini? Tak ada tuanmu disini, dan kau tak perlu lagi bersikap menyerupai paspampres yang sedang mengawal ndaranya.” Hanya bunyi korek api yang aben lintingan tembakau sambil melenturkan kaki Blind menggantung dari atas gubuk.


“Jika hanya badan dan busuk asap rokokmu itu yang menemaniku, apa bedanya dengan mayat, hantupun tak akan tertarik untuk mendekatimu”. Sambil menggeserkan posisi duduknya ke pojok bangunan reot berkaki empat itu.


“Sepertinya memang kau tak pernah teratarik dengan lawan jenis, atau mungkin mungkin hanya menimbulkan kami para wanita ini sebagai gula dalam kopimu yang memang hambar atau mungkin pahit, sma menyerupai tuanmu? Entahlah, memang saya tak pernah merasakannya. Bedanya beliau punya puluhan bahkan mungkin ratusan toples gula yang menimbulkan wedangnya manis, dan kau apa? Menjadi menyerupai Haikal aja tak mampu.” Masih tak ada gerakan dari verbal Blind, dan Meylinda mulai melepaskan kebayanya yang sempat basah.


“Jangan kau paksa saya untuk mematahkan sayap bidadari yang sempat baku berikan padamu, saya tak akan pernah menjadi anjing lapar yang merampas makanan tuannya di atas meja. Jadi, rapikan kenakan kembali kebaya itu, setelah ini kita akan melanjutkan perjalanan.”


“Oh, suci sekali kau ini. Aku tak tersanjung, ini hinaan terdahsyat yang pernah terucap dari verbal berasapmu.”


“Turunlah, mari tinggalkan kawasan keparat ini. Kereta api menuju Jatirogo akan lewat sebelum jam 7 pagi jadi jangan hingga tertinggal, atau saya tak sempat membelikanmu baju baru, dan arwahku akan bertemu dengan hantu-hantu sebelumnya.”


Perjalananpun dimulai melewati gerumbulan hutan dan petakan sawah-sawah yang tak terurus, licin, dan tentu banyak hewan melata berkelian. Sepertinya angin memang tak mau diajak berkawan, deburan kabutpun terusir angin utara yang semakin menusuk tulang dinginnya.


“maukah kau menggendongku? Aku sendi-sendiku terasa beku, saya tak sanggup melanjutkan perjalanan ini. Dan bila kau masih bertahan dengan egomu, tinggalkanlah saya disini dan pergila dengan kereta pasir itu sendirian. Meski anjing-ajing yang mulai berkeliaran itu mencabik-cabik tubuhku, atau ular-ular lapar itu mematuk kaki, saya tak peduli. Karena satu-satunya insan yang mengagumiku sudah kau hempaskan dan tau sudah berapa anjing yang siap menerkamnya. Dan kau, sepertinya juga tak jauh beda.” Dan tanpa basa kedaluwarsa Blindpun membopong keri kecil itu dari belakang yang memang sedari tadi membuntuti dari belakang, dan Meylindapun tertidur.



Bersambung.....
Labels: ,

Post a Comment

[blogger]

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.