Pelukan Terakhir Aliya

Photo by Janko Ferlič on Unsplash

Rahmad yaitu Pegawi Negeri Sipil yang harus meninggalkan rumahnya untuk merantau demi masa depan yang lebih cerah. Liburan kali ini ia putuskan untuk tidak pulang sebab malam lebaran ke tiga nanti akan ada satu program yang tidak bisa ia tinggalkan.

Malam yang cuek diantara rintik hujan yang semakin lebat. Rahmad masih termenung dalam ruang gelap kantornya. Bukan sebab ingin menikmati kesendiriannya, sebab memang lampu kantor sedang rusak dan belum ada yang memperbaikinya.

Ini yaitu malam ijab kabul sahabat baiknya, Lukman yang biasa menemaninya menghabiskan malam maupun siang dengan secangkir kopi dengan setengah bungkus rokok hasil beli di warung mbah Sri.

Lama ia menunggu Nasir datang menjemputnya, dan hujanpun tak kunjung reda. Samar-samar terlihat jam dinding menunjukkan arah 9, dan itu berarti program sudah setengah jalan. Pikirannya semakin kacau, pesan singkat yang ia kirimkan selepas maghrib belum ada balasan.

Ingin ia rebahkan tubuh dan pejamkan mata sembari menunggu Nasir datang dan gelembung-gelembung langit memudar. Namun ia takut sahabat karibnya itu nantinya datang dan tak melihat batang hidungnya yang sedang terbaring. Ia urungkan hasratnya.

Matanya tertuju pada sofa yang tak jadi ia gunakan tidur yang justru mengingatkan pada kenangan beberapa tahun lalu ia habiskan malam dengan bidadari yang sayapnya mulai menghitam, Aliya.

Perasaannya semakin kacau, kenapa ia harus mengingat pada sosok yang telah berkali-kali ia lupakan dengan begitu beratnya. Bayangan Aliya semakin tercetak terang dipelupuk mata. Setiap kedipnya bukan gelap dan hitam yang ia lihat, tapi justru senyum dan canda tawa Aliya di masa lalu.

“Iblis sedang bergerilya memberi pekerjaan kepada tukang ruqyah di malam dengan rintik hujan menyerupai ini. Jangan dalam-dalam memikirkannya. Toh nanti juga bakalan ketemu”.

Suara Nasir menghentikan jelajahku ke masa lalu. Aku masih belum menjawab sapanya, lilitan benang penjahit samping rumah serasa melilit-lilit dalam otakku. Aku lupa bila calon istri Lukman yaitu sahabat sekelas Aliya. Sudah pasti ia akan datang ke resepsi malam ini. Aku bingung, saya takut ia datang. Dan itu berarti usahaku beberapa tahun terakhir untuk perlahan menghapusnya dari ingatan akan sia-sia.

“Kita berangkat besok pagi aja, toh hujan juga belum reda. Lukman pasti akan mengerti.” Jawab Rahmad yang telah begitu lama ditunggu Nasir.

“Mbah Sri yang bukan siapa-siapamu saja setiap hari kau kunjungi. Ini sahabat dekatmu, bahkan bukan sahabat dekatku, ijab kabul yang sekali seumur hidup mau kau urungkan menghadirinya?” Ucap Nasir menyerupai sedang berpidato tujuhbelasan.

Dengan lemas dan berat hati ia turuti keinginan Nasir. Toh itu juga sudah menjadi kewajibannya menghadiri ajakan sahabat karibnya.

Sepanjang jalan tangannya menengadah memohon kepada Allah biar tak Ia pertemukan dengan cuilan hati amnesianya itu. Bukan sebab ia sudah tak cinta lagi, cintanya masih teramat dalam, bahkan melebihi dari separuh hatinya. Tapi rasa sakit harus menghadapi kenyataan cerita cintanya tak akan berakhir menyerupai Lukman. Orang bau tanah Aliya menghendaki menantu yang pinter baca kitab dan bertani. Cukup realistis memang melihat Pak Habibi, ayah Aliya yang seorang kiyai dengan sawah berhektar-hektar.

Dengan melipat tangan dengan lipatan celana dibawah lutut Rahmad mulai menyususri rumah istri Lukman yang memang harus melewati gang kecil dulu sebelum hingga ke rumahnya. Baru beberapa langkah turun dari boncengan Nasir, dari belakang terdengar bunyi lirih menyapanya. Rahmad menggigil mendengar bunyi itu melebihi biasanya, ia tak sempat menengok, bukan takut dengan pemilik suara, sebab itu hanyalah bunyi Nurul, tapi lebih pada sahabat bersahabat Nurul, Aliya. Lehernya kaku menyerupai terganjal balok terbesar di perhutani Jatirogo. Ia takut Aliya benar-benar datang malam itu, meski kemungkinan datang sangat kecil sebab rumahnya yang sangat jauh.

“Iya Nurul” sambil ia gerakkan tubuhnya menghadap Nurul. “sudah mau pulang?” sapa Rahmad dengan getar bibir layaknya mesin diesel.

“Tak kira gak datang kak, dari tadi ditanyakan terus sama orang dibelakang kakak”. Sontak ia menengok ke belakang. Dan benar saja Aliya bangun tegap dengan senyum tersunggingnya.

“kok gres datang, mas? Kita pulang dulu ya” sapa Aliya yang tak sempat Rahmad jawab.

Malam yang angker itu terjadi juga, doanya sepanjang perjalanan tidak manjur. Acara Resepsi memang sudah selesai. Lukman sudah berganti pakaian dan menemui kami berdua. Tak terjadi banyak perbincangan sebab memang waktu sudah larut dan program sudah selesai.

Selepas makan Rahmad segera berpamitan sebab tiba-tiba perutnya sakit.

Baru saja ia menaiki kendaraan, ada sebuah pesan singkat masuk, dan itu dari Nurul. “ Kalau sudah pulang, kabarin ya, Aliya mau bicara sesuatu”. Sakit perutnya semakin parah dibarengi dengan sakit kepala yang mulai menusuk.

Sesampainya di rumah Rahmad eksklusif menumpahkan hasrat perutnya supaya pertemuannya dengan Aliya cepat terlaksana dan terselesaikan.

Rahmad menuggu di dalam kantor dimana ia tadi menuggu Nasir. Pikirannya kembali berkecamuk, ada rasa takut yang mendalam, ada impian besar pula yang ia rapalkan ditengah gigilnya.

“Silahkan diselesaikan kak, biar tidak saling memendam”. Lalu Nurul meninggalkan mereka berdua.
Seperti cowok yang gres saling mengenal dan sedang dimabuk asmara. Tak ada sepatah kata yang terucap hingga hampir setengah jam. Sampai Nurul kembali masuk dan membantu Aliya memberikan unek-unek-nya.

“Aliya sudah selesai skripsi kak, mungkin ini waktu yang sempurna untuk menunjukkan niat lapang dada kakak. Silahkan dilanjutkan, tapi jangan terlalu lama, tidak enak bila dilihat orang. Sudah terlalu malam”. Nurulpun kembali pergi meniggalkan mereka.

“aku masih Rahmad yang sama, yang selalu ingin memilikimu seutuhnya. Jika kau siap berkomitmen, kita jalani dan lewati semuanya. Aku siap menjadi kaki kiri tanpa bantalan untuk menapaki bara, asal ada kaki kanan yang selalu mengiringi dengan bantalan berhias permata, dan itu kamu.”

Dan sudah bisa ditebak, suasana kembali hening tanpa jawaban. Tak ada penolakan ataupun jawaban hingga Nurul datang lagi.

“gimana kak, sudah selesai?”

“sudah, silahkan kembali.” Jawab Rahmad dengan senyum yang sangat dipaksakan.

Sembari memandang langit-langit ruangan ia rebahkan tubuh lusuhnya di sofa kecil penuh debu itu. semua ketakutan-ketakutannya berjalan dengan rapi. Dengan simpulan yang sama. Ia putuskan untuk memejamkan mata dan tidur.

Baru sesaat ia penjamkan mata, handphonenya berdering.

“Mas, bisa pinjam charger?, dari tadi handphoneku mati. Tolong diantar hingga depan rumah ya. Sangat berharap.” Demikian isi pesan pendek yang terkirim dari nomor Nurul.

Ingin ia tidur saja, dan mengabaikan semuanya. Karena simpulan dari hubungannya dengan Aliya sudah bias ditebak akhirnya. Namun semakin ia pejamkan mata, semakin tidak bisa tidur dan tidak damai pikirannya. Ia putuskan untuk bangun mengambil charger seadanya dan mengantarkannya.

Didepan rumah Nurul sepi, tidak ada Aliya disana. Hampir saja Rahmad kembali pulang, sebab malam sudah terlalu larut, ia takut ada kejadian yang tak diinginkan. Belum sempat ia nyalakan motornya, bunyi Aliya memanggil dari tangga samping rumah Nurul. Ternyata mereka berdua tidur di rumah lantai atas.

Aliya tidak mau turun, dan menunggu ditangga. Rahmadpun menaiki tanggal untuk menunjukkan charger dan eksklusif meninggalkan Aliya.

“Udah, gitu aja?” bunyi Aliya yang sontak menghentikan langkah Rahmad. Ia balikkan badannya dan kembali mendekati Aliya. Dan lagi tak ada kata terucap.

Aliya memegang tangan Rahmad. Hal yang bersama-sama biasa bagi mereka berdua, tapi itu dulu. Rahmad lemas, tak bisa membalas genggaman Aliya. Hati dan pikirnya menyerupai tak ada desiran darah yang mengalir. Perlahan genggaman itu terlepas. Bukan untuk pergi dan meninggalkan Rahmad, tapi justru berpindah melingkari tubuh lemasnya. Pelukan yang semakin lama semakin erat, dan Rahmadpun membalasnya.

Rahmad melepaskan pelukan Aliya yang menyerupai orang sedang tertidur.

“tidurlah, biar besok tidak pulang kesiangan.” Pinta Rahmad sembari melepaskan pegangan dibahu Aliya. Entah apa yang dirasakan dan diinginkan dalam benak Aliya. Nyatanya tak sejengkalpun langkahnya bergeser. Dan dalam lubuk terdalam Rahmadpun tak ingin segera mengakhiri saat-saat yang sudah sangat lama tak ia rasakan. Dengan kecupan dikening Aliya, Rahmad meninggalkan tangga dan malam yang kian menggigil.
Labels:

Post a Comment

[blogger]

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.