Latest Post



Kajian Komunitas Kali Kening Bangilan ke 9 ini terasa berbeda. Karena pada sesi diskusi salah seorang anggotanya yang berjulukan Rohmat Sholihin yang juga alumni atlet sepak bola di Bangilan menunjukkan isu yang sangat menarik dan bisa jadi tantang besar bagi Komunitas Kali Kening yang gres seumur jagung.




Sore itu di Base camp Banjarworo Bangilan Pak Rohmat memberikan impian salah satu pimpinan pesantren dan Madin yang ada di salah satu desa di kecamatan Bangilan, Desa Bate tepatnya. Isi usulannya yaitu suapaya K3 sebutan atau akronim Komunitas Kali Kening semoga menunjukkan kajian, pembelajaran. ataupun menyebarkan pengalaman kepada santri-santri yang kukuh mengaji agama di desa terpencil di kecamatan Bangilan itu.




Para anggota K3 yang hadir sore itupun menyambutnya dengan baik dan tidak mau menunggu terlalu iktikad yang mulai diberikan oleh masyarakat ini. Maka dari pertemuan yang terasa lebih lama dari biasanya ini di lanjut ke teras Cafe selepas sholat maghrib untuk menerima suasana yang lebih fresh.




Di cafe Teras itulah anggota K3 memutuskan 12 Desember 2016 sebagai waktu yang sempurna untuk melaksanakannya. Dengan alasan hal yang baik harus disegerakan, maka malam itu juga semua anggota mendapat tugas. Diawali koordinasi dengan pihak penyelenggara yang tidak lain yaitu ponpes dan madin Al-Isyroq pimpinan KH. Nurus Shobah yang biasa dipanggil dengan Gus Shobah. Dan sepertinya Allah berbaik hati pada K3, alasannya piham pesantren menyetujui setiap impian dari K3.




Satu hari yaitu waktu yang sangat singakt terasa untuk program yang dipandang sangat besar oleh K3. Namun dengan kerja keras dan koordinasi yang ciamik, pagi itu 12 Desember 2016 semua persiapan sudah terselesaikan dengan baik. Mulai dari alat tulis, stiker, banner, dan tentunya anggota K3 itu sendiri.




Perjalanan dimulai dari toko salah satu anggota K3, Kafabih. Dengan kendaraan roda dua, semua anggota bergegas membelah jalanan Bangilan, Ngrojo, Kablukan, dan sampailah di Al-Isyroq. sesampainya disana anggota K3 disambut dengans angat hangat. Untuk menghormati waktu, sempurna pukul 9 program dibukaLinda Tria Sumarno dan dilanjut dengan pembacaan tilawah oleh salah satu peserta. Sebelum masuk pada program inti, K3 memperkenalkan diri dengan banyak sekali macam kegiatan dan kajian-kajiannya yang diwakili oleh Dino Jumanta. penjelasan jurnalistik dan beberapa bahan yang sangat menarik berturut-turun dari A. Rafiq, oghmat Sholihin, Joyo Juwoto, dan tentunya Lurah K3 Ikal Hidayat.




Dalam kegiatan ini, disamping beberapa bahan yang telah dijelaskan dan bisa diterima dengan baik oleh para peserta, K3 juga ingin secara eksklusif menunjukkan output berupa mading. dan tidak disangka, akhirnya sangat memukau. mading berhasil diselesaikan oleh para santri dengan sangat cepat. meliputi cerpen, puisi, gambar, dan kaligrafi. Dan diluar perkiraan, ternyata para ustadz dan ustadzah juga ikut menyumbangkan karyanya, terlihat dari beberapa nama yang tertera dari karya yang dikumpulkan untuk disortir dan dipasang di papan mading yang memang sebelumnya belum ada dan gres kita buat.




Acara inipun mendapat respon yang bermacam salah satunya dari penerima yang berjulukan Heri, "Setelah mengikuti workshop, rencana bersama teman-teman akan membuat mading Madin."




Acara berakhir pukul 14.00, anggota K3 bergegas pergi meinggalkan lokasi acara. Senang rasanya bisa bercengkerama dengan santri-santri dan ustadz ustadzah yang sangat bersemangat. Semoga kedepannya, apa yang disampaikan oleh K3 bisa bermanfaat untuk kehidupan pribadi maupun pesantren.



Apa yang terjadi malam itu menyerupai tumpukan sampah. kotor, bau, berantakan. setiap hisapan nafas yang ada hanya sesak, pusing, ingin muntah. Pun begitu dengan apa yang berkecamuk dalam dadaku, dalam kepalaku.

Dua pasang bola mata yang selalu meneduhkan, bibir tipis yang menggumamkan rindu itu kembali datang mengusik. Ya, kedipan-kedipan teduh itu tak terlihat lagi, hanya rintikan air yang tak lagi bisa terbendung. Bibir tipis yang selalu mengungkapkan kemanjaan, lenguhan, bahkan ketusan itu tak lagi tersungging.

Aku duduk di bangku sofa ruang ini. Hampa, berantakan, dengan meja-mejanya yang tak lagi terkemoci, lantai putih yang tak lagi terpel dengan aroma terapi yang biasanya kau sempatkan waktu untuk membasuhnya sebelum tapak-tapak bising berdasi menggenggam kayu bertulis 1 hingga 100. Di meja baris ke dua itu saya biasa menumpuk buku-buku dan pena merah. Dan setiap jam 20.30 saya mengencaninya untuk sekedar menunjukkan kenang-kenangan bertulis jayyid, jayyid jiddan atau bahkan mumtaz. sebuah tanda yang nanti akan mejadi nostalgia dua atau tiga tahun yang akan datang menyerupai yang kau cubitkan di pinggangku malam ini. Sebuah cubitan atas godaku dengan nilaimu yang tak menyentuh angka maksimal, meski hanya tertuang dalam satu atau dua kata berbahasa arab saja.

Aku tak begitu mengenalmu sebelumnya, apa lagi memperhatikan terlalu jauh, sebab yang ku tahu kau yakni bayangan dari kerudung merah yang selalu tersenyum untuk setiap tamu yang datang. Kau yakni telik sandi ketika baju biru tertangkap segerombolan pasukan istana. Aku tidak gugup apalagi takut. Bahkan saya menikmati setiap kekhawatiran akhir dari tindakanku malam itu, dan saya lupa bahwa kau hanya sebuah bayangan si hidung tungku. 

Kau laksana operator seluler yang selalu mengingatkan isi perutku sudah mulai kosong. Kau yakni sapu tangan ketika jari-jariku mengiramakan piano kesedihan, dan kau menyeka rintikannya. Aku tidak risih meski ratusan pasang mata mengintip dari sela-sela cendela beling yang seakan menutupi. Tapi itu bohong, macam bohongku atas rasamu yang tertutup kerudung merah.

Ku rebahkan tubuhku di sofa panjang dimana kau memelukku dekat di keremangan malam, ketika hanya satu atau dua pasang kaki yang sesekali melintasi. Malu rasanya kalau hingga belum dewasa gres yang tiba-tiba memenuhi ruangan ini melihat kesembaban mataku. 

Ku pejamkan mataku dan mulai ku dengarkan lagi kesukaanmu, dan saya tertidur. Samar-samar saya mendengar dering telepon; kau jatuh di depan rumah seorang kawan lama. banyak darah kau terpejam, dan sesekali kau lontar senyum dalam boponganku. Pekat sekali mata ini, sepertinya kopi mak Konah tadi pagi tidak begitu berimbas pada begadangku semalam. Ku hubungi orang tuamu, ku pastikan semua baik dan saya terbangun. Aku bermimpi, mimpi pada masa lalu yang kembali muncul dalam desktop otakku. 

Kita sudah sangat sering bertemu, saling curi pandang, saling ejek, dan kita kenal, hingga semua sesak di dadamu tak lagi bisa kau tahan. Dalam derai bahagia kau curahkan rasa, saya tak peka. Diruang kecil samping toilet itu saya lupa telah berani memelukmu, menciummu, mengusap setiap peluh yang membasahi serakan buku laporan yang gres saja kau rapikan. Aku menangis, tapi itu bahagia. 

Satu setengah tahun nuansa bening berhias pelangi itu ku sadak. Sampai beruang berbulu ungu itu kau bakar dan kau tulis surat terakhir dalam gerimis tahun gres cina dua tahun silam, dan kau tetap ada. Ada dalam setiap kuncup padi yang menanti mentari dalam petak sawah hatiku.



Mentari belum sepenuhnya memancarkan sinarnya, Namun kicau burung sudah saling bersautan menemani ibu-ibu mempersiapkan sarapan pagi untuk anak dan suami mereka. Jalanan yang masih pekat dengan embun samar-samar mulai pudar seiring hentakan sepatu pegawai dan anak sekolah, para mahasiswa dengan roda duanya.

Tak akan ada yang menyangka bagaimana dulunya kota kecil nan jauh dari hiruk pikuk ibu kota ini mampu lebih maju dan higienis dan seluruh kota di dunia. Bagaimana tidak, hampir tidak ada polusi dudara ataupun limbah di kawasan ini, pun dengan pengangguran. Setiap tenaga insan tercurah untuk setiap industri yang dikerjakan, semua menggunakan tenaga insan dan bahan-bahan dari alam yang tidak memiliki dampak berbahaya untuk masa depan. Tak ada deru mesin jalanan yang menyaingi bunyi guru sedang memberi penjelasan kepada siswanya, hanya andong yang sesekali lewat, tidak untuk mengambil sampah dari depan rumah warga, tetapi petugas kecantikan taman, yang merapikan atau mengganti tanaman atau bunga yang mulai bau tanah di sepanjang jalanan kota.

Pemerintah kota tidak menutup diri terhadap perkembangan teknologi dan insutri mekanik, bahkan banyak dari tim hebat di perusahaan-perusahaan besar di di negara lain menginjak tanah pertama kali di kota ini, akan tetapi kesadaran warga yang sudah dipupuk dengan sistem kepemimpinan yang sudah berjalan secara turun temurun.

Ya, kemajuan kota dari sisi ekonomi, teknologi, manusia, maupun alam yang selalu dijaga ini tidak lepas dari sosok Karna. Sosok pria sederhana dari keluarga yang tak seorangpun menduga akan menjadi penggagas sistem pemerintahan terbaik di dunia. Bagi penduduk kota ini, Karna yaitu insan terbaik yang tumbuh dari keluarga terbaik yang dikirim Yang Mahakuasa untuk memberi tanda kuasa Yang Mahakuasa tidak diberikan berdasarkan keturunan saja. Kerja keras, ketaatan, doa, dan perjuangan orang tuanya.

Bagi Karna ketaatan yaitu pegangan utama untuk menjadi insan sesungguhnya. dan itu dibuktikan dengan tabah dan taatnya beliau mengikuti perintah eyang guru. Delapana tahun tidak sedikitpun mendapat pelajaran kanuragan dari sang eyang. Ilmu yang didapat hanyalah mengambil air di belakang padepokan Wilujeng Raharja untuk mandi para murid dan mengurus tanaman di sekitar padepokan.

Langkahnya untuk memajukan kota menjadi sentra mencar ilmu dan perekonomian negara tidak serta merta jadi. Halangan yang begitu besar datang silih berganti.Setelah Eyang guru meninggal, wasiat terahirnya yaitu Karna sebagai pewaris padepokan yang setiap titahnya wajib ditaati setiap penghuni kota. Pimpinan padepokan yaitu pemimpin kota. Empat puluh hari berlalu, padepokan dan sekitarnya terlihat ibarat kota mati, hingga segerombolan orang datang dengan pakaian dan kendaraan serba mewah yang dipimpin seorang wanita mengaku sebagai anak eyang guru dan menagih warisan dari ayahnya.

Memang berdasarkan cerita, eyang guru memiliki sepasang putra putri, namun setelah remaja dengan ilmu kanuragan yang cukup muncul rasa jumawa dan meninggalkan padepokan, alasannya yaitu baginya sudah tidak ada lagi tantangan di kota kecil dengan amis sulfur dimana-mana.

Seluruh warga resah dengan kondisi ini, "Bagaimana mungkin seorang perempuan akan memimpin kota yang pernah ditinggalkannya, sementara beliau pergi saja alasannya yaitu jijik dengan kota ini, bisa-bisa nanti kota ini dijual dan kita akan mencicipi yang namanya menderita". ujar Munir yang memang didakwa sebagai lurah.

Munirpun berinisiatif mengumpulkan seluruh pimpinan desa dan pemuka agama untuk mencari solusi dari benih pertikaian yang mulai tumbuh, dari hasil musyawarah, Karna yaitu pewaris sah padepokan Wilujeng raharja dan berhak memimpin kota sementara keturunan laki-laki dari eyang guru tidak tahu kemana. Namun gres saja keputusan itu dibacakan, datang seorang pria setengah baya dengan wajah ibarat eyang guru. semua terperanjat, takut, kaget, bahkan ada yang menyangkan eyang guru terlahir kembali dengan sosok yang lebih muda.

"Aku Ludira, pewaris utama eyang guru. saya kesini tidak untuk mewaris kepemimpinan atas padepokan dan kota ini, saya hanya ingin mengambil pusaka pedang catur jiwo milik bapakku". 

Tak seorangpun berani berbicara kecuali pria setengah meter dengan rambut yang lebih panjang dari ukuran tubuhnya, Munir. "Mari ku antar ke padepokan, mungkin Karna mampu mebberi penjelasan" ujarnya.

Ludira pun bergegas menuju padepokan dengan kuda hitamnya yang gagah. 

Tanpa basa kedaluwarsa langkahnya tertuju ke saung utama dimana eyang biasa merebahkan tubuh dan menemui para tamunya yang Ludurapun gotong royong belum pernah memasuki ruangan itu. Ia terheran dengan pemandangan yang dilihatnya, tak ada aroma mistis ataupun senajata pusaka, hanya buku-buku tebal tertata rapi dari ujung pintu satu ke ujung pintu lainnya. "Kang Ludira, ada yang mampu saya bantu?" sapa Karna.

"Kau pasti karna. Tenang, saya kesini tidak untuk merampas kepemimpinan yang diberikan bapak kepadamu atas padepokan dan kota ini, saya hanya ingin pusaka bapakku, kau tentu tau yang saya maksud." sergah Ludira.

Karna mulai resah bagaimana menawarkan tanggapan yang sempurna biar tidak tersinggung dan marah. Sementara ia tahu dari eyang guru pusaka pedang carur jiwo hanya sebuah istilah, bukan sebuah benda. 

"Aku mengerti kakang, benda itu disimpan eyang di dalam ujung goa bawah jeram belakang padepokan. untuk memasukinya kau harus bertapa empat puluh hari empat puluh malam, dan kau hanya boleh makan dikala matahari itu tak terlihat. Tentu kau mengerti maksudku". Jelasnya.

"Oh, ternyata begini caramu Dira. kau masih saja ndeso dan tidak mampu bermain rupawan untuk menerima yang kau inginkan, kau tetaplah pria ndeso Ludira. Dan kau Karna, kau tidak sopan menawarkan diam-diam bapak kepada anak bau kencur ini tanpa membertahuku dulu sebagai keturuanan pertama bapak." potong Minawati yang sedari tadi mengintip dari luar.

Hampir saja pertikaian besar terjadi, alasannya yaitu Ludira menjawab hinaan kakaknya dengan kilatan pedang yang siap menebas leher kakaknya itu. pertikaianpun terjadi. Saling berkelahi kanuragan tak mampu terelakkan. Ditengah perkelahian satu darah itu Krna berujar, "Teruslah berkelahi dan saling bunuh, alasannya yaitu 40 hari ke depan saya yang akan menerima pusaka itu tanpa halangan berarti." dan merekapun menghentikan perkelahian yang sedang seru-serunya dan beralih beradu cepat menuju bawah jeram yang sedang deras-derasnya, dan mereka mulai membuat kawasan pertapaan.

Baru tujuh hari merasa damai dari gangguan bawah umur eyang guru, isu sedih datang dari kampung halaman Karna, kedua orang tuanya ditemukan meninggal bersimbah darah dirumahnya. emosinya memuncak, tiraninya berkuasa, ingin rasanya ia membunuh pemilik gelang emas yang ditemukan dalam genggaman ibunya, dan semua orangpun tahu siapa pemilik suplemen itu.

pikirannya berkecamuk, antara air mata dan dosa, antara dendam dan balas jasa. hampir setiap jam ia memantau perkembangan dua gubuk kecil di samping air terjun, dan memang minawati memiliki taktik yang cerdik, bahkan licik dibanding adiknya, Ludira. Ia memilih kawasan teraman dan terdekat disamping ekspresi goa, sementara Ludira sempurna dibawah aliran terjun, yang kalau terjadi banjir bandang, ia akan tenggelam bersama gubuknya.

Tepat seminggu sebelum empat puluh hari sepeninggal orang tuanya, karna dikagetkan dengan ramai sorak sorai warga dari arah air terjun. Ia pun bergegas kesana, dan puluhan warga sudah berkerumun menonton pertunjukan yang tidak wajar. Sepertinya Karna datang terlambat, sesampainya di jeram kedua anak eyang guru itu telah terkapar dengan pedang tertusuk di ulu hati masing-masing. 

Warga yang tadinya tak berani mendekat, alasannya yaitu kedatangan Karna segera menolong mayit keduanya, namun belum hingga mayit dipegang, terdengar gemuruh yang begitu dahsyat yang diketahui warga sebagaia tanda datangnya banjir bandang kiriman dari kota sebelah. Wargapun berhamburan meningalkan lokasi. Benar saja, air bah menggerus gubuk dan dua tubuh tanpa nyawa tanpa tahu dimana bermuara.


Senja itu telah memudar, dan dunia kunang-kunang perlahan menampakkan eksistensinya. Desiran angin gunung semakin memanjakan setiap hembusan penghuni lembah cinta. Aroma khas welirang menyerupai obat nyamuk yang memeluk kulit-kulit yang semakin menggigil, tak terkecuali Blind yang semakin dekat dengan kawasan tidur barunya. Beralaskan klaras dan berselimut pandan wangi mengantarkannya semakin pekat dalam mimpi. Gesekan-gesekan bulu jangkrikpun serasa violist sedang asyik memainkan nada pengantar tidur, nikmat sekali rasanya. Oh tidak, tidak senikmat itu rupanya. Sedikit demi sedikit langit mulai mengencingi ibu jari kakinya yang terlewat dari daun pisang kering yang menyelimuti tubuhnya. basah, dan semakin menjalar hingga membasahi pantatnya. Sepertinya langit malam sedang kesepian, ia tahu ada seonggok daging bernafas sedang memamerkan kenyamanan di tengah kerja kerasnya memikul jutaan manik-manik malam.


“Oh, jahat sekali kau malam, tak tahukah sepanjang langkahku habis untuk menjaga kenyamanan tuanku menghamburkan uang untuk lampu hias, taman bunga, monumen-monumen nirmakna, atau sekedar mengecat ulang patung pria yang dianggapnya ayah, dan tahukan kau, itu palsu. Biarkanlah saya sejenak bernafas normal.” Kesalnya sambil ia nayalakan sebatang rokok dan bersandar dalam apitan akar kepoh sambil menikmati sisa-sisa mimpinya.
Sepertinya langit sedang anyang-anyangan, tak hentinya ia mengencingi beberapa bab badan Blind yang semakin tersudut tanpa bisa menghindar alirannya. Dan di tengah-tengah himpitan air, bunyi jangkrik, dan tabrakan daun ploso yang tersapu angin terdengar sayup-sayup teriakan perempuan dari gubuk seberang. Secepat kilat ia singkirkan daun-daun yang menali simpul tubuhnya, ia lempar rokok di jari yang gres terpakai beberapa hisapan, dan berlari tunggang langgang menghampiri sumber bunyi tadi.


“Bangsat kau Haikal! kau memang kotor, tak seharusnya kau menodai air lembah cinta ini dengan busuk busukmu itu, menjijikkan!” bentaknya sambil menendang pantat Haikal sekuat tenaga tanpa memberi kesempat untuk menghindar, dan Haikalpun terjengkal dan jatuh dari atas gubuk bersimbah lumpur. Hampir saja Blind turun dan menenggelamkan badan cungkring itu ke dasar bumi bila Meylinda tak melarangnya.


“Sudahlah Blind, tak perlu kau benamkan ia ke dalam lumpur itu, ia sudah terlalu jauh terbenam dalam imaji atas nikmati kulitku, dan saya masih baik-baik saja selain bercak liur yang dulu sempat ku bayang madu.” Sengguknya seraya menenangkan Blind yang masih menggetar kepal dengan sejuta amarah.
Keheningan dalam gubuk terasa makin menyuntuk kala tak sepatah kata terletup dari verbal Blind, dan Maylinda masih sesenggukan dalam getar sembari membenahi rambut yang sempat berserakan.


“Kau masih menyerupai biasanya saja, tak adakah sedikit welasmu untuk wanita yang tersungkur dalam temaram ini? Tak ada tuanmu disini, dan kau tak perlu lagi bersikap menyerupai paspampres yang sedang mengawal ndaranya.” Hanya bunyi korek api yang aben lintingan tembakau sambil melenturkan kaki Blind menggantung dari atas gubuk.


“Jika hanya badan dan busuk asap rokokmu itu yang menemaniku, apa bedanya dengan mayat, hantupun tak akan tertarik untuk mendekatimu”. Sambil menggeserkan posisi duduknya ke pojok bangunan reot berkaki empat itu.


“Sepertinya memang kau tak pernah teratarik dengan lawan jenis, atau mungkin mungkin hanya menimbulkan kami para wanita ini sebagai gula dalam kopimu yang memang hambar atau mungkin pahit, sma menyerupai tuanmu? Entahlah, memang saya tak pernah merasakannya. Bedanya beliau punya puluhan bahkan mungkin ratusan toples gula yang menimbulkan wedangnya manis, dan kau apa? Menjadi menyerupai Haikal aja tak mampu.” Masih tak ada gerakan dari verbal Blind, dan Meylinda mulai melepaskan kebayanya yang sempat basah.


“Jangan kau paksa saya untuk mematahkan sayap bidadari yang sempat baku berikan padamu, saya tak akan pernah menjadi anjing lapar yang merampas makanan tuannya di atas meja. Jadi, rapikan kenakan kembali kebaya itu, setelah ini kita akan melanjutkan perjalanan.”


“Oh, suci sekali kau ini. Aku tak tersanjung, ini hinaan terdahsyat yang pernah terucap dari verbal berasapmu.”


“Turunlah, mari tinggalkan kawasan keparat ini. Kereta api menuju Jatirogo akan lewat sebelum jam 7 pagi jadi jangan hingga tertinggal, atau saya tak sempat membelikanmu baju baru, dan arwahku akan bertemu dengan hantu-hantu sebelumnya.”


Perjalananpun dimulai melewati gerumbulan hutan dan petakan sawah-sawah yang tak terurus, licin, dan tentu banyak hewan melata berkelian. Sepertinya angin memang tak mau diajak berkawan, deburan kabutpun terusir angin utara yang semakin menusuk tulang dinginnya.


“maukah kau menggendongku? Aku sendi-sendiku terasa beku, saya tak sanggup melanjutkan perjalanan ini. Dan bila kau masih bertahan dengan egomu, tinggalkanlah saya disini dan pergila dengan kereta pasir itu sendirian. Meski anjing-ajing yang mulai berkeliaran itu mencabik-cabik tubuhku, atau ular-ular lapar itu mematuk kaki, saya tak peduli. Karena satu-satunya insan yang mengagumiku sudah kau hempaskan dan tau sudah berapa anjing yang siap menerkamnya. Dan kau, sepertinya juga tak jauh beda.” Dan tanpa basa kedaluwarsa Blindpun membopong keri kecil itu dari belakang yang memang sedari tadi membuntuti dari belakang, dan Meylindapun tertidur.



Bersambung.....

Author Name

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.